Mari Bicara

tentang Cinta Satwa

Wawancara dengan Drs. Farid, S.AG, M.HUM

Mr. Farid adalah dosen Fakultas Filsafat UGM. Wawancara ini dilakukan pada akhir tahun 2006, hampir berdekatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa. Wawancara ini dilakukan oleh Thomas Satria, disunting oleh Ginanjar Dimas Agung.


Jahe :
Apa arti cinta menurut anda?
Farid : Sesungguhnya orientasi cinta adalah memberi, tidak pernah membentuk ataupun memiliki. Cinta itu konsepnya selalu memberi apapun termasuk perhatian, dukungan dan berbagi. Cinta tidak pernah mau menuntut dan meminta, sehingga seolah-olah orientasi ini terkesan tidak logis, karena orientasinya hanyalah memberi. Pada tingkat berikutnya, konsep memberi itu terwujudkan dalam transformulasi yaitu berkorban.
Tetapi sering kali sebagian besar orang-orang melihat cinta justru pada hal penuntutan. Karena merasa memiliki maka berhak menuntut. Katakanlah konsep cinta pada sepasang kekasih, jika cinta keduanya berorientasi konsep memberi maka akan terasa indah, ikhlas, seperti orang tua ke anak, tuhan ke manusia, alam ke kita (manusia). Alam sesungguhnya tidak pernah menuntut, dengan pengandaian, jika kita “nakal” bungapun tetap harum. Tetapi lain halnya ketika sepasang kekasih yang telah saling sepakat ditandai dengan “saya cinta kamu kamu cinta saya”, konsep yang tadinya memberi, langsung berubah orientasinya menjadi memiliki. Apa konsekwensi dari memiliki? konsekwensi yang muncul berikutnya adalah menuntut, dengan pengandaian “Karena ini punyaku maka aku tuntut dia”, parahnya atau ironisnya mereka masih juga mengatasnamakan cinta. Pada saat itulah cinta menjadi tidak bermakna, cinta menjadi sebuah pengungkungan.
Hal yang sama seperti orang mencintai satwa. Contonya adalah burung, secara alamiah terbang, ia diberi sayap untuk mengarungi alam semesta secara bebas, kemudian kita kurung demi suara dan keindahannya. Burung tak bersalah, atau mungkin kesalahan satu-satunya adalah suara dan bulunya yang bagus. Ini adalah sesuatu yang tragis. Bisa diandaikan, burung bersuara indah dalam sangkar sesungguhnya kalau kita mengerti suaranya bisa jadi itu adalah suara stress (tertekan). Yang terjadi saat ini ialah kalau kita sudah senang kita tidak bisa membebaskan, kita menjadi egois dan kita menuruti kesenangan, menuruti keinginan kita. Hal di atas adalah kesenangan bukan cinta


Jahe : Bagaimana peranan agama terhadap perlakuan manusia kepada hewan atau yang lain?
Farid :Pemahaman saya bahwa agama memposisikan manusia di semesta berperan menjadi wakil, dalam pengertian pemelihara. Kalau kita lihat pada rantai makanan ,mansuia menempati posisi paling tinggi, artinya dia (manusia) mempunyai potensi kekuasaan atas apapun. Tetapi potensi kekuasaan ini harus dipersepsikan, bahkan diarahkan pada pemeliharaan. Dalam agama Islam, ada orang yang menafsirkan bumi dan alam semesta untuk manusia. Selalu ada yang berfikir negatif, yang mengartikan legitimasi agama untuk eksplorasi yang dilakukan manusia. Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Jika kita lihat pada ayat-ayat dalam Al-Quran, kerusakan di muka bumi adalah ulah manusia. Pada ayat ayat yang lain, kita (manusia) diperintahkan untuk melihat bagimana alam berkembang, bagimana pohon-pohon memuji Tuhan. Ayat-ayat tersebut menandakan bahwa ada potensi-potensi alam meminta kita untuk menjaga alam, bukan untuk merusaknya. Manusia menjadi khalifah di muka bumi adalah dalam fungsi untuk menjaga bukan merusak. Pengandaian yang sama jika kita melihat seorang raja. Raja mempunyai kekuasaan yang memungkinkan bisa secara salah, berbuat zalim. Dengan kakuasaannya pula dia bisa memilih untuk kemudian memelihara apa saja yang berada dalam kekuasaannya. Agama bukan legitimasi untuk merusak, tetapi mendorong spirit sesorang untuk memelihara alam semsta. Mengapa banyak nama hewan yang dijadikan

surat

dalam Al-Quran? Saya melihat ini sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan (terhadap hewan dan alam). Pada kenyataannya hewanpun tidak lebih buruk dibandingkan manusia. Misalnya harimau yang kejam dan suka membunuh, tetapi sekejam kejamnya harimau tidak akan membunuh anak atau orang tuanya. Penghargaan terhadap binatang dapat dilihat saat harimau itu makan dan mengambil rantai makan di bawahnya (berburu), ia tidak pernah berniat untuk mengeksploitasi kecuali hanya untuk kebutuhannya saja. Lain dengan bintang, manusia berburu terkadang untuk hobi bukan untuk makan, burung-burung akan habis hanya untuk sekedar hobi.

“Penghargaan terhadap binatang dapat dilihat

saat harimau itu makan dan mengambil rantai makan di bawahnya (berburu), ia tidak pernah berniat untuk mengeksploitasi kecuali hanya untuk kebutuhannya saja. Lain dengan binatang, manusia berburu terkadang untuk hobi bukan untuk makan. Burung-burung akan habis

hanya untuk sekadar hobi.”

Jahe : Apakah hewan mempunyai kebebasan?
Farid : Setidaknya kita bisa melihat berdasarkan habitat (ruang) yang berbeda. hewan mempunyai tempat sendiri untuk hidup dan kita pun punya tempat sendiri. Cukup saling menjaga keberadaan ruang. Apakah hewan mempunyai kebebasan atau tidak? kita bisa melihatnya melalui kehidupan, hewan hidup dan kita (manusia) juga hidup. Andaikan kita diperlakukan seperti hewan ternyata ya gak enak. Kita bisa melihat tanda-tanda fenomena flu burung dan virus tokso adalah bentuk pemberontakan alami yang dilakukan bintang secara naluri, ketika strees lalu hewan mengeluarkan kotoran, secara otomatis alam merubahnya menjadi penyakit. Untuk berbuat baik terhadap bintang harus hati-hati. Caranya adalah tidak memaksa mereka hidup dan tunduk dalam lingkungan kita.

Ada komentar oleh orang-orang, “kalu dilepas nanti berbahaya karena nggak biasa”, itu terjadi karena kita (manusia) membuat hewan tidak biasa. Kita membuat hewan tidak mandiri. Nilai kebebasan pada hewan adalah berasal dari persepsi kita, tapi persepsi yang tidak mengada-ada

Artikel dimuat dalam newsletter jahe, edisi V/April/2008
Tema Flora, Fauna, Manusia. Newsletter jahe diterbitkan oleh Mahasiwsa Pecinta Jagad Raya (MAPAJARA) Panta Rhei Fakultas Filsafat UGM.